Selasa, 07 Februari 2012

Tauhid Menurut Ikhya Ulumuddin


Imam Al Ghozali
Abu Hamid Al Ghozali
I.       PENDAHULUAN
الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ جَعَلَ التَّوْحِيْدَ قَاعِدَةَ الإِسْلاَمِ وَأَصْلَهُ وَرَأْسَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهَدْيِهِ. أَمَّا بَعْدُ:
Tauhid adalah pegangan pokok dan sangat menentukan bagi kehidupan manusia, karena tauhid menjadi landasan bagi setiap amal yang dilakukan.Hanya amal yang dilandasi dengan tauhidullah, menurut tuntunan Islam, yang akan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki di alam akhirat nanti.
Allah Ta’ala berfirman:
â ô`tB Ÿ@ÏJtã $[sÏ=»|¹ `ÏiB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quxm Zpt6ÍhŠsÛ ( óOßg¨YtƒÍôfuZs9ur Nèduô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ ÇÒÐÈ á
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik lagi dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl: 97).
Berdasarkan pada pentingnya peranan tauhid dalam kehidupan manusia, maka wajib bagi setiap muslim mempelajarinya. Tauhid bukan sekedar mengenal dan mengerti bahwa pencipta alam semesta ini adalah Allah; bukan sekedar mengetahui bukti-bukti rasional tentang kebenaran wujud (keberadaan) Nya, dan wahdaniyah (keesaan) Nya, dan bukan pula sekedar mengenal Asma’ dan Sifat-Nya.
Iblis mempercayai bahwa Tuhannya adalah Allah; bahkan mengakui keesaan dan kemaha-kuasaan Allah dengan meminta kepada Allah melalui Asma’ dan Sifat-Nya. Kaum jahiliyah kuno yang dihadapi Rasulullah r juga meyakini bahwa Tuhan Pencipta, Pengatur, Pemelihara dan Penguasa alam semesta ini adalah Allah.  Namun, kepercayaan dan keyakinan mereka itu belumlah menjadikan mereka sebagai makhluk yang berpredikat muslim, yang beriman kepada Allah I.
Dari sini timbullah pertanyaan: “Apakah hakikat tauhid itu? Tauhid adalah pemurnian ibadah kepada Allah. Maksudnya yaitu: menghambakan diri hanya kepada Allah secara murni dan konsekwen dengan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, dengan penuh rasa rendah diri, cinta, harap dan takut kepada-Nya.
Untuk inilah sebenarnya manusia diciptakan Allah, dan sesungguhnya misi para Rasul adalah untuk menegakkan tauhid dalam pengertian tersebut di atas, mulai dari Rasul pertama sampai Rasul terakhir, yaitu Nabi Muhammad r.
Maka pada makalah ini akan membahas tentang tauhid yang ada di dalam kitab Ihya Ulumuddin jili IV yang  mempunyai arti penting dan berharga sekali untuk diketahui dan menjadikannya sebagai pegangan hidup.
Buku ini ditulis oleh seorang ulama yang giat dan tekun. Beliau adalah syaikh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at Tusi al Ghozali , yang dilahirkan di Thusi pada tahun 450 H( 1058 M ), dan meninggal di desa Tabaran pada tahun 505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun ( Lewis, 1965: 1038).
Makalah ini akan membahas tentang pengertian tauhid, pembagian tingkatan tauhid serta pembagian alam menurut Imam Ghozali, dalam memaparkan mungkin masih banyak kekurangan untuk itu saya mohon masukan dari teman-teman dan khususnya dari bapak dosen pengampu mata kuliah Ilmu Tasawuf dan semoga dapat bermanfaat , Amien.
II. PEMBAHASAN
A.   Biografi Abu Hamid Al Ghozali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at Tusi al Ghozali. Dilahirkan di Thusi pada tahun 450 H / 1058 M di sebuah desa kecil bernama Ghozalah Thabaran bagian dari kota Tus, wilayah Khurasan. (1965: 1038). Beliau adalah seorang alim yang banyak menghabiskan masa hidupnya untuk menuntut ilmu dan mendakwahkan islam. Salah satu dari karya terbesar Al Ghozali adalah kitab Ihya Ulumuddin yang terkenal di kalangan masyarakat umum dan golongan tetentu.
Al Ghozali dimabil dari kata Ghazzal, artinya tukang pemintal benang, karena ayahnya seorang pemintal benang wol. Sedangkan al Ghazali diambil dari kata Ghazalah, nama kampung kelahiran al Ghazali. Al Ghazali adalah seorang pemikir terpenting di dunia Islam. Meskipun ia hidup sembilan abad yang lalu hasil pemikiranya masih banyak di warisi oleh umat Islam. Besarnya pengaruh al Ghazali di dunia Islam dapat dilihat dari gelar Hujjatul Islam yang diberikan kepadanya (Nur Cholis Madjid, 1984: 34).
Selain mendalami fiqh dan teologi di Nizapur, al Ghozali juga belajar dan melakukan praktek tasawuf dibimbing oleh al Farmadzi, tokoh sufisme asal Thus murid al Qusyairi, hanya saja saat pertama ini al Ghozali tidak berhasil mencapai tingkat dimana sang mistis menerima inspirasi dari alam ata. Ia juga mempelajari doktrin-doktrin Ta’limiyah hingga al Muntadzir menjadi kholifah (1094-1118 M). Ia juga diangkat menjadi guru di sekolah Nizamiyah pada tahun 483 H/ 1090 dan dilaksanakan dengan baik ( Hanafi, 1990: )135
Al Ghazali merupakan seorang ahli pikir Islam yang luar biasa ilmunya, hampir semua ilmu ia kuasai. Ini dapat dilihat dari hasil karyanya yang menulis berbagai disiplin ilmu, antara lain filsafat, ilmu kalam, fiqh, usul fiqh, tasawuf. Badawi Thabana, menulis dalam muqodimah Ihya Ulumudin tentang hasil karya al Ghazali yang nerjumlah 47 kitab diantaranya Tahafut al falasifah, Al Mustasya, Minhajul Abidin dan yang paling terkenal Ihya Ulumuddin yang terdiri dari 4 jilid (Badawi, 1957: 22).
  
B. Pengertian Tauhid
Dari segi bahasa ‘mentauhidkan sesuatu’ berarti ‘menjadikan sesuatu itu esa’. Dari segi syari’ tauhid ialah ‘mengesakan Allah didalam perkara-perkara yang Allah sendiri tetapkan melalui Nabi-Nabi Nya yaitu dari segi Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ Was Sifat’.
Sesungguhnya, Allah menciptakan seluruh alam semesta termasuk di dalamnya jin dan manusia adalah hanya untuk beribadah kepada-Nya. Allah Ta’ala telah berfirman dalam Al-Qur’an Al-Karim, “Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku” (Adz-Dzariyat: 56). Inilah hakikat diciptakannya jin dan manusia, yaitu hanya untuk beribadah kepada Allah saja tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Sebab, tauhid hanya kepada Allah saja, karena syarat diterimanya suatu ibadah/ amalan adalah ikhlas kepada Allah merupakan hak Allah yang harus ditunaikan oleh setiap manusia. Setiap manusia harus mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah. Jika seseorang beribadah kepada selain Allah, maka ia telah berbuat syirik kepada Allah dan hal itu mengeluarkannya dari Dienul Islam. Allah berfirman,
ö@è% !$yJ¯RÎ) (#qãã÷Šr& În1u Iwur à8ÎŽõ°é& ÿ¾ÏmÎ/ #Ytnr& ÇËÉÈ

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku hanya menyembah tuhanku dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya.” (Al-Jin: 20).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Tauhid adalah mengesakan Allah didalam segala hal  dan mengihlaskan ibadah hanya kepada Allah, dan jangan sampai tercampuri oleh sesuatu apapun selain Allah.

C. Tauhid Dan Tawakal
Al-Ghazali adalah salah seorang pemikir muslim terbesar dan paling berpengaruh dalam sejarah Islam. Sebagian besar kaum muslim menempatkan Al-Ghazali sebagai pemikir genius yang berhasil memadukan fiqih dan tasawuf secara amat mengesankan dan paling luas diterima.
Oleh karena itu, sangat wajar jika kita akan mendiskusikan pemikiran Al-Ghazali tentang praktik-praktik religius seharusnya dimulai dengan konsepsinya tentang tauhid. Persoalan keesaan Tuhan atau tauhid adalah tema yang sangat sentral dalam teologi skolastik muslim. Semua persoalan teologis yang menyoal zat, sifat-sifat, dan tindakan Tuhan tercakup dalam tauhid. Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa sejarah teologi Islam muncul di persoalan tauhid, tentang bagaimana menafsirkan dan mengkonseptualisasikan bagian pertama syahadat yang berbunyi La ilaha illallah (Al Ghazali, Ihya Ulumuddin Terjamah Moh. Zuhri)
Keutamaan tawakal dapat diketahui dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits.Ayat-ayat Al-Qur’an yang menyinggung tentang keutamaan tawakal adalah:
n?tãur «!$# (#þqè=©.uqtGsù bÎ) OçGYä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÌÈ
 “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman.”(QS.Al-Maidah: 23)

`tBur ö@©.uqtGtƒ n?tã «!$# uqßgsù ÿ¼çmç7ó¡ym
“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS. Ath-Thalaq (65): 3)

¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran (3): 159)
Adapun hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan tawakal antara lain dalam hadits yang diriwayatkan Ibn Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda, “Aku lihat umat-umat disuatu tempat perkumpulan, maka aku lihat umatku telah memenuhi lembah dan gunung, maka membuatku kagum banyaknya jumlah dan bentuk mereka. Maka ditanyakan kepadaku, ‘Apakah engkau senang?’ Aku menjawab, ‘Ya, aku senang.’ Bersama mereka terdapat tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab.’”
Lalu beliau ditanya, “Siapakah mereka?” Beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang tidak menggunakan besi panas untuk penyembuhan, tidak meramal, tidak minta dijampi-jampi, dan hanya kepada Tuhannya mereka bertawakal.”‘Ukasyah berdiri lalu berkata, “Wahai Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah SWT agar menjadikan aku termasuk diantara mereka.” Maka Rasulullah SAW berdoa, “Ya Allah, jadikanlah ia termasuk diantara mereka.”
Lalu ada seorang lagi yang berdiri dan berkata, “Mohonkanlah kepada Allah agar menjadikan aku termasuk diantara mereka.” Maka Rasulullah SAW menjawab, “Engkau telah didahului oleh‘Ukasyah.”Rasulullah SAW bersabda, “Kalau kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, maka Dia akan memberikan rezeki kepadamu sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung yang pergi pada waktu pagi dalam keadaan lapar dan kembali pada waktu sore dalam keadaan kenyang.”
Ketika Al-Khawwash ra., membaca ayat:
ö@ž2uqs?ur n?tã ÇcyÛø9$# Ï%©!$# Ÿw ßNqßJtƒ ôxÎm7yur ¾ÍnÏôJpt¿2
“Dan bertawakallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati (QS. Al-Furqan (25): 58), maka ia berkata, “Setelah ayat ini tidak sepatutnya bagi hamba berlindung kepada selain Allah SWT.”

D. Hakikat Derajat Tauhid sebagai Landasan Tawakal
Ketahuilah, bahwa makna tauhid yang merupakan pokok tawakal adalah perwujudan dari ucapanmu: La ilaha illallah wahdahu la syarika lahu dan keimanan terhadap kekuasaan (al-qudrah) yang merupakan penafsiran dari ucapanmu: Lahul mulk, serta keimanan kemurahan dan kebijaksanaan yang ditujukkan dalam ucapanmu: Wa lahul-hamd. Barang siapa yang hatinya dikuasai makna kalimat ini, maka ia menjadi orang yang bertawakal.

.E.Pokok Tauhid dan Empat Tingkatannya
Tauhid itu terbagi menjadi: lu(isi), lubb al-lubb (isinya isi), qasyr al-lub (kulit isi), dan qasyr al-qasyr (kulitnya kulit), seperti buah pala.
PERTAMA, keimanan terhadap ucapan semata merupaka qasyr al-qasyr, yaitu keimanan orang-orang munafik wal-‘iyadzu billah (Al Ghazali, Muhtasor Ihya Ulumuddin, 1999: 243).
KEDUA, membenarkan makna kalimat itu, yaitu keimanan kaum muslim pada umumnya.
KETIGA, menyaksikan hal itu melalui al-kasyf. Ini merupakan maqam orang-orang yang didekatkan (al-muqarrabin). Hal itu adalah dengan melihat berbagai sebab. Tetapi semuanya itu berasal dari yang Maha Esa dan Maha Perkasa.
KEEMPAT, tidak melihat kecuali satu, yaitu kesaksian orang-orang yang benar (ash-shiddiqin). Kaum sufi menyebutnya fana dalam tauhid. Ia tidak melihat dirinya karena dirinya lebur dalam Al-Haqq yang Maha Esa. Inilah yang dimaksud dalam ucapan Abu Yazid, “Sebutan diriku melalaikanku.
Yang Pertama, adalah keimanan dengan lisan semata. Hal itu tidak memberikan manfaat kecuali dalam menghindari tebasan serta menjaga kesehatan harta dan jiwanya, karena sabda Rasulullah SAW., “Jika mereka mengucapkannya terpeliharalah dariku darah dan harta mereka.”
Yang Kedua, adalah orang yang menganut tauhid. Artinya, dengan hatinya dia meyakini makna kalimat itu tanpa ada keraguan padanya. Namun hal itu tidak meresap kedalam batinnya. Keadaan ini dapat menjaganya dari azab diakhirat jika ia mati dalam keadaan itu dan tidak mengerjakan kemaksiatan secara terus menerus. Karena itu ikatan ini, mengendorkan ahli bid’ah dengan kekurangan dan mengendorkan ahli kalam tanpa kekurangan.
Yang Ketiga, adalah ahli tauhid dalam pengertian bahwa terbuka dadanya sehingga ia tidak melihat kecuali satu walaupun banyak sebab. Maka ia mengetahui bahwa sumbernya adalah dari Al-Haqq yang Maha Esa
Yang Keempat, adalah ahli tauhid dalam pengertian tidak hadir dalam syuhud dan hatinya kecuali Al-Haqq yang Maha Esa. Ia tidak memerlukan perantara dan dirinya. Keadaan ini merupakan yang tertinggi. Yaitu, inti pala itu berminyak, misalnya. Tidak ada pembahasan dalam keadaan keempat ini. Bahkan pembahasan dalam keadaan ketiga adalah yang melihat Al-Haqq yang Maha Esa. Ia melihat keseluruhan sebagai satu karena masalahnya dari Al-Haqq yang satu.
Di dalam hal ini, orang yang belum terbit cahaya Allah di dalam hatinya mengatakan tentang maksud firman Allah SWT., “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membantu hatinya)? (QS. Az-Zumar (39): 22). Bagaimana ia melihat keseluruhan sebagai satu, padahal ia melihat sejumlah sebab di langit dan bumi. Ia melihat jumlah yang banyak.
Ketahuilah, bahwa penyingkapan rahasia-rahasia ini tidak mungkin dilakukan. Sehingga sebagian orang arif mengatakan bahwa menyebarkan rahasia rububiyyah adalah kufur. Namun yang kami maksudkan adalah yang dihasilkan peribadatanmu. Yaitu, bahwa sesuatu itu banyak dalam satu pengertian dan sedikit dalam pengertian lain, seperti manusia dalam hal bagian-bagiannya adalah banyak dan dalam hal individualnya adalah satu, dipandangnya sebagai satu, tidak berbilang.
Demikian pula, seluruh yang ada dalam wujud, yaitu pencipta dan makhlukNya, memiliki banyak pengertian. Satu pengertian dari banyak pengertian adalah seperti manusia. Walaupun tidak sesuai, namun hal itu mengingatkan bahwa kadang-kadang dalam satu pengertian sesuatu itu banyak tetapi dalam pengertian lain adalah satu. Hal ini ditegaskan oleh Al-Husain bin Manshur dimana ia melihat Al-Khawwash menjauh dalam perjalanan-perjalanannya (asfar). Maka ia bertanya, “Mengapa engkau ini?” Al-Khawwash menjawab, “Aku menjauh dalam afsar-ku untuk memperbaiki keadaanku dalam bertawakal” Al-Husain berkata, “Engkau telah menghabiskan umurmu dalam membina batinmu. Tetapi bagaimana dengan fans-mu dalam tauhid? Al-Khawwash adalah pada maqam ke tiga. Maka ia berusaha melewati untuk sampai pada maqam keempat.
Jika engkau katakan, “Jelaskanlah pada kami keadaan ketiga, jika engakau tidak akan menjelaskan keadaan keempat.” Maka aku katakan, “Hal itu dengan engkau mengetahui bahwa tidak ada pecinta selain Allah SWT. Dan bahwasannya atom dilangit dan bumi tidak bergerak kecuali dengan izin Allah SWT. Tidak ada kefakiran, kaya, kematian, dan kehidupan kecuali dengan izin Allah SWT. Dia adalah Pecipta segala sesuatu. Barangsiapa yang sampai pada tahap ini dan mengetahui bahwa tiada tuhan selain Dia, maka ia tidak akan memandang pada sesuatu yang lain. Karena, segala sesuatu ditundukkan dalam kekuasaan-Nya
.Hal ini adalah ibarat raja ketika dimintai ampunan. Maka seseorang tidak memandang pada pena dan kertas, serta berterima kasih kepada keduanya. Melainkan orang itu akan memandang pada penulis, yaitu raja, dan berterima kasih kepadanya. Brangsiapa yang memandang selain Allah SWT dari sebab-sebab, maka ia seperti orang yang memandang pada pena dan kertas, serta berterima kasih kepada keduanya. Ahli tauhid yang telah kami sebutkan adalah yang dibingungkan oleh melihat keindahan raja daripada memandang pena. Atau diingatkan padanya keberadaan pena, tetapi tidak melihat dan tidak pula mengingatkan.
Jika engkau katakan, “Ini pada benda-benda mati yang ditundukkan. Aku memahaminya. Namun bagaimana aku dapat memahami hal itu yang terjadi pada manusia yang memiliki pilihan terhadap kebaikan, pemaafan, memberi, dan mencegah. Bgaimana aku mengalihkan perbuatannya pada asalnya?” Maka aku menjawab, “Di dalam hal ini banyak kaki yang tergelincir, kecuali hamba-hamba Allah yang ikhlas. Mereka adalah yang tidak dikuasai setan. Mereka memandang dengan cahaya mata hati keberadaan penulis yang ditundukkan dan dipaksa sebagaimana semua orang lemah melihat keberadaan pena yang ditundukkan di tangan penulis. Jika orang-orang lemah itu keliru dalam hal tersebut seperti kelirunya semut diatas kertas yang ditulisi karena keterbatasan penglihatannya dalam pengenali penulis. Maka engkau melihat pena dan memindahkan tulisan penanya. Ini adalah seperti penglihatan orang-orang lemah.
Orang-orang yang dikaruniai taufikNya dan dilapangkan dadanya dengan cahayaNya melihat yang diatas itu. Kepada mereka Allah menjadikan setiap atom di langit dan dibumi berbicara dengan kekuasaanNya, yang dengannya Dia menjadikan segala sesuatu berbicara dengan kekuasaanNya, yang dengannya Dia menjadikan segala sesuatu berbicara. Sehingga mereka mendengar penyucian dan tasbihnya kepada Allah dan persaksianya terhadap dirinya yang lemah. Dengan lisan yang fasih setiap atom berbicara kepada mereka tanpa suara dan huruf, serta tidak terdengar oleh mereka yang terlepas dari pendengaran. Maka setiap atom di alam ini bersama pemilik hati memiliki munajat. Hal itu merupakan rahasia kalam Allah SWT. yang tiada akhir baginya, sebagaimana firman Allah SWT., “Katakanlah, ‘kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula) (QS. Al-Kahfi (18): 109)
Maka karena hal ini, pemilik hati senantiasa bermunajat dengan rahasia-rahasia malakut. Namun menyebarkan rahasianya adalah tercela. Bahkan dada orang-orang yang merdeka merupakan kuburan rahasia-rahasia. Apakah engkau pernah melihat orang yang diberi kepercayaan menyimpan rahasia raja mengungkap rahasianya dihadapan orang banyak
.Kalau boleh menyebarkan setiap rahasia, Rasulullah SAW tidak akan mengatakan, “Kalau kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan sedikit tertawa dan banyak menangis.”
Bahkan beliau menyebutkannya kepada mereka sehingga mereka tidak tertawa melainkan menangis, tidak akan dilarang menyebarkan rahasia takdir, dan Rasulullah SAW tidak akan bersabda, “Jika bintang-bintang (ramalan) disebut, maka berhentilah. Dan jika takdir disebut qadha, maka berhentilah.”

F. Pembagian Alam
1. Alam kekuasaan atau alam kenyataan
Yang dimaksud alam kenyataan yaitu kertas, tinta, pena serta tangan termasuk alam ini dan telah engkau lewati empat tempat persinggahan dengan mudah.
2. Alam Malakut
Alam malakut yaitu yang dibelakang, apabila engkau melewatinya dan sampai ketempat-tempat persinggahan, seperti padang-padang yang luas, gunung-gunung yang tinggi dan lautan yang dalam, saya tidak tahu bagaimana engkau selamat disitu.
3. Alam Jabarut
Yaitu 3 tempat persinggahan , karena pada awalnya tempat kekuasaan, kehendak, dan ilmu yaitu pertengahan antara alam kekuasaan dan alam malakut. Karena alam kekuasaan lebih mudah jalanya, sedang alam malakut lebih sulit jalanya.
Sesungguhnya alam jabarut itu diantara alam kekuasaan dan alam malakut menyerupai kapal yang diantara bumi dan air. Maka ia tidak terletak pada batas guncangan air maupun batas ketenangan dan kokohnya bumi. Masing-masing yang berjalan diatas bumi dialam kekuasaan dan kenyataan. Jika kekuasaanya mencapai kemampuan menaiki kapal itu , ia pun seperti berjalan dialam jabarut . Jika ia sanggup berjalan diatas air tanpa kapal , ia pun berjalan dialam malakut tanpa susah payah. Jika engkau tidak sanggup berjalan di atas air , maka pergilah. Engkau telah melewati bumi dan meninggalkan kapal dan hanya tersisa air yang jernih.
Awal dari alam malakut ialah menyaksikan pena untuk menulis ilmu dan timbulnya keyakinan yang mebuatnya berjalan diatas air . andaikata bertambah keyakinanya , niscaya ia telah berjalan di atas udara.

G. Tujuan Diciptakannya Jin dan Manusia Adalah untuk Menauhidkan Allah
Sesungguhnya, Allah menciptakan seluruh alam semesta termasuk di dalamnya jin dan manusia adalah hanya untuk beribadah kepada-Nya. Allah Ta’ala telah berfirman dalam Al-Qur’an Al-Karim,
â $tBur àMø)n=yz £`Ågù:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 á
“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku” (Adz-Dzariyat: 56).
Inilah hakikat diciptakannya jin dan manusia, yaitu hanya untuk beribadah kepada Allah saja tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Sebab, tauhid hanya kepada Allah saja, karena syarat diterimanya suatu ibadah / amalan adalah ikhlas kepada Allah merupakan hak Allah yang harus ditunaikan oleh setiap manusia. Setiap manusia harus mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah.
 Jika seseorang beribadah kepada selain Allah, maka ia telah berbuat syirik kepada Allah dan hal itu mengeluarkannya dari Dinul Islam. Allah berfirman,
ö@è% !$yJ¯RÎ) (#qãã÷Šr& În1u Iwur à8ÎŽõ°é& ÿ¾ÏmÎ/ #Ytnr&
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku hanya menyembah tuhanku dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya.” (Al-Jin: 20).  
III. KESIMPULAN
Dari segi bahasa ‘mentauhidkan sesuatu’ berarti ‘menjadikan sesuatu itu esa’. Dari segi syari’ tauhid ialah ‘mengesakan Allah didalam perkara-perkara yang Allah sendiri tetapkan melalui Nabi-Nabi Nya yaitu dari segi Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ Was Sifat’.
Tauhid itu terbagi menjadi: qasyr al-qasyr (kulitnya kulit), qasyr al-lub (kulit isi), lu(isi), lubb al-lubb (isinya isi), dan seperti buah pala.
  1. Alam kekuasaan atau alam kenyataan
  2. Alam Malakut .
  3. Alam Jabarut
Hakikat diciptakannya jin dan manusia, yaitu hanya untuk beribadah kepada Allah saja tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Sebab, tauhid hanya kepada Allah saja, karena syarat diterimanya suatu ibadah / amalan adalah ikhlas kepada Allah merupakan hak Allah yang harus ditunaikan oleh setiap manusia. Setiap manusia harus mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah.
Demikianlah yang dapat kami simpulkan dari isi Kitab Ihya Ulumudin tentang Tauhid semoga bermanfaat Amin, saya yakin masih banyak kekurangan untuk itu saran dari teman-teman dan dosen sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.




DAFTAR PUSTAKA

Lewis, The Encyclopedia of Islam, Netherland: Ej Brill, 1965
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Badawi Thabana, Muqoddimah Ihya Ulumuddin, Kairo: Isa Babiyul Halabi, 1957
Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, Terjemahan Moh. Zuhri, Semarang: As Syifa, 2009
Departemen Agama, Al Quran dan Terjemahnya, Semarang, As Syifa, 2006
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
Tim Penyusun, Muhtasor Ihya Ulumuddin, Surabaya: Bintang Usaha, 1999
 Muhammad bin Abdul Wahab,  Kitab Tauhid, Maktab Dakwah dan Bimbingan Jaliyat Rabwah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar